PENERAPAN SIMBOLISME DAN FILOSOFI UNSUR SUNDA PADA GEDUNG “WANA CIPTA” YOUTH CULTURAL CENTER DI CIPADUNG, BANDUNG

Abstract

Abstrak
Pesatnya perkembangan teknologi dan informasi dalam masyarakat modern telah memberikan dampak signifikan terhadap pelestarian budaya, khususnya pada kalangan generasi muda. Di Kota Bandung, Jawa Barat, terjadi penurunan minat terhadap warisan budaya Sunda, yang disebabkan oleh keterbatasan akses terhadap ruang budaya serta kurangnya keterlibatan komunitas. Minimnya fasilitas yang representatif dan mudah diakses menjadi salah satu faktor utama rendahnya kesadaran budaya lokal tersebut. Untuk menjawab permasalahan ini, dilakukan studi perancangan youth cultural center di Cipadung sebagai upaya strategis dalam merevitalisasi partisipasi masyarakat dan meningkatkan apresiasi budaya pada kalangan generasi muda. Penelitian menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif, melalui observasi langsung, pemetaan minat budaya, serta analisis data untuk menggali kebutuhan dan aspirasi masyarakat setempat. Konsep perancangan didasarkan pada pendekatan simbolisme dan filosofi arsitektur, dimana elemen fasad dan elemen lansekap mewakili nilai-nilai budaya melalui integrasi ikon, simbol, dan indeks berdasarkan teori semiotika Charles Jencks. Pendekatan filosofis ini juga menekankan sensitivitas terhadap konteks lokal, narasi budaya, dan representasi identitas dalam pembentukan fasad dan lanskap. Dengan tapak yang diusulkan di Jl. A. H. Nasution, pusat kebudayaan ini diharapkan menjadi fasilitas yang inklusif dan dinamis bagi generasi muda untuk mengekspresikan diri, serta mengenal dan melestarikan budaya lokal, sekaligus memperkuat keberlanjutan budaya di Kota Bandung.
Kata Kunci: Filosofi Arsitektur, Simbolisme Arsitektur, Youth Cultural Center

Abstract
The rapid development of technology and information in modern society has significantly impacted cultural preservation, especially among younger generations. In Bandung, West Java, there is a declining interest in Sundanese cultural heritage due to limited access to cultural spaces and low community engagement. The lack of accessible and representative facilities contributes to the weakening of local cultural awareness. To address this issue, a design study for a youth cultural center in Cipadung was conducted as a strategic effort to revitalize public participation and increase cultural appreciation among youth. Using qualitative and quantitative methods such as field observation, cultural interest mapping, and data analysis, the study identifies local needs and aspirations. The design adopts a symbolic and philosophical architectural approach, where facade and landscape elements express cultural values through the integration of icons, symbols, and indices, referencing Charles Jencks' semiotic theory. This approach highlights sensitivity to local context, cultural narratives, and identity representation. Located on Jl. A. H. Nasution, the proposed center is envisioned as an inclusive and dynamic space for youth to express themselves, explore, and preserve local culture, supporting cultural sustainability in Bandung.
Keywords: Architectural Philosophy, Symbolism, Youth Cultural Center