PENDEKATAN ARSITEKTUR HEALING PADA DESAIN BLOOMORA YOUTH CULTURE CENTER DI BANDUNG

Abstract

Abstrak
Pesatnya perkembangan teknologi dan arus informasi dalam masyarakat modern memberikan dampak signifikan terhadap pola hidup generasi muda, termasuk pada aspek pelestarian budaya lokal. Di Kota Bandung, fenomena ini terlihat dari menurunnya minat remaja terhadap warisan budaya Sunda yang disebabkan oleh keterbatasan akses ruang budaya, kurangnya wadah interaksi komunitas, serta minimnya fasilitas yang mudah dijangkau. Di sisi lain, tekanan sosial, akademik, dan psikologis pada generasi muda juga semakin meningkat, sehingga diperlukan ruang yang tidak hanya menjadi sarana ekspresi budaya, tetapi juga mampu mendukung kesehatan mental dan emosional penggunanya. Untuk menjawab permasalahan tersebut, dirancanglah youth cultural center sebagai pusat kebudayaan remaja yang mengintegrasikan fungsi pelestarian budaya dengan pendekatan healing architecture. Konsep ini menekankan penciptaan lingkungan binaan yang menenangkan, sehat secara psikologis, serta mendukung proses pemulihan fisik dan emosional. Prinsip healing architecture diterapkan melalui pemanfaatan pencahayaan alami, keberadaan vegetasi, serta pemilihan warna, dan material yang menenangkan. Selain itu, desain bangunan mempertimbangkan karakteristik generasi muda yang dinamis dengan menghadirkan ruang fleksibel, kolaboratif, dan adaptif untuk berbagai aktivitas budaya, seni, edukasi, dan relaksasi. Youth cultural center juga dilengkapi dengan fasilitas pendukung seperti co-working space dan café yang berfungsi sebagai wadah interaksi sosial lintas komunitas. Dengan demikian, keberadaan pusat kebudayaan ini tidak hanya menjadi sarana pelestarian budaya lokal, tetapi juga ruang yang mampu mengurangi tekanan mental, menumbuhkan rasa memiliki, serta memberdayakan generasi muda secara holistik dalam konteks urban modern.
Kata Kunci: Arsitektur Healing, Perancangan Lanskap, Youth Cultural Center

Abstract
The rapid development of technology and the flow of information in modern society have had a significant impact on the lifestyles of young generations, particularly in the preservation of local culture. In Bandung, this phenomenon is evident in the declining interest of youth in Sundanese cultural heritage, which is caused by limited access to cultural spaces, the lack of community engagement platforms, and the absence of accessible and representative facilities. On the other hand, social, academic, and psychological pressures on young people are increasing, creating the need for spaces that not only serve as platforms for cultural expression but also support users’ mental and emotional well-being. To address these issues, the youth cultural center is designed as a cultural hub for young people, integrating cultural preservation functions with the principles of healing architecture. This concept emphasizes the creation of built environments that are calming, psychologically healthy, and supportive of both physical and emotional recovery. The application of healing architecture includes the use of natural lighting, vegetation, optimal air circulation, as well as soothing colors and materials. Furthermore, the design responds to the dynamic characteristics of the young generation by providing flexible, collaborative, and adaptive spaces that accommodate cultural, artistic, educational, and recreational activities. The youth cultural center is also equipped with supporting facilities such as co-working spaces and cafés, serving as social interaction nodes across communities. Thus, the presence of this cultural center not only functions as a means of preserving local culture but also as a space that reduces mental pressure, fosters a sense of belonging, and empowers young generations holistically within the context of modern urban life.
Keywords: Design Landscape, Healing Architecture, Youth Cultural Center